“Sejarah
Hidup Nabi Muhammad SAW”
BAB I
PENDAHULUAN
Kedudukan Jazirah Arab dalam percaturan politik
dunia terutama menghadapi kerajaan Persia dan Romawi Timur bersifat netral,
kecuali Yaman dan sekitar Teluk Persia. Menjelang Rasulullah lahir, Yaman termasuk
wilayah Rumawi, sedang Teluk Persia termasuk kerajaan Persia, Hijaz waktu itu
bebas dari pengaruh politik, budaya dan agama dari luar.
Jazirah Arab merupakan kediaman mayoritas
bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana tidak ada sungai yang mengalir tetap,
yang ada hanya lembah-lembah berair pada musim hujan. Sebagian besar daerah
Jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan
dan sifat yang berbeda-beda. Penduduk Sahara sangat sedikit terdiri dari
suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari
satu daerah ke daerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang
gembalaan mereka, kambing dan onta.
Dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk
Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu Qahthaniyun (keturunan
Qahthan) dan ‘Adnaniyun (keturunan Ismail ibnu Ibrahim). Masyarakat,
baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi
dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas
yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah, dan beberapa kelompok
kabilah membentuk suku dan dipimpin oleh seorang Syekh. Mereka sangat
menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok
menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Dengan kondisi yang alami yang tidak berubah
itu, masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya
terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka
mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf
permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh
penduduk Badui adalah penyair.
Islam lahir di gurun tandus, yang sebelumnya
datang tidak punya kedudukan dan tempat dalam sejarah, kemudian dengan cepat
sekali Islam berkembang kesegala penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaab dan
kekuatan banyak umat. Dalam kesulitan yang maha dahsyat, Islam mendapatkan
kemenangan nyata dan menakjubkan. Tidak sampai dua abad dari detik
kelahirannya, bendera Islam telah berkibar antara dua pegunungan Pyrenia dan
Himalaya, antara padang pasir di tengah Asia sampai ke padang pasir di Benua
Afrika. Ketika itu orang-orang arab mempunyai kepercayaan bahwa di dalam
sesuatu yang berupa benda, seperti gunung, angin dan lain-lain terdapat roh-roh
yang harus disembah seperti berhala, karena itulah mereka menyembah
binatang-binatang, matahari dan bulan.
Walaupun
agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan
masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang
diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala
sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun di
tempat-tempat lain juga ada. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal,
yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di Ka’bah; Lata, dewa
tertua, terletak di Thaif; Uzza, bertempat di Hijaz, kedudukannya berada
di bawah Hubal, dan Manat yang bertempat di Yatsrib.
Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik
dan nasib buruk. Itulah sedikit gambaran keadaan bangsa atau jazirah Arab
menjelang kedatangan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Prakerasulan Muhammad SAW.
1. Kelahiran Muhammad SAW
Sekitar
tahun 570 M, Mekah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di
antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya ataupun karena
letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di
Selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota, Mekah menjadi
pusat keagamaan Arab. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala
utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab
pada masa itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan
luas satu juta mil persegi.
Nabi
Muhammad dilahirkan dalam keluarga bani Hasyim di Mekah pada hari senin,
tanggal 9 Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun dari Peristiwa Gajah. Maka
tahun itu dikenal dengan Tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun itu
pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah
menyerang Kota Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Bertepatan dengan
tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M.
Nabi
Muhammad adalah anggota bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam
suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir
dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak
Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya
adalah Aminah binti Wahab dari bani Zuhrah. Muhammad , Nabi terakhir ini dilahirkan
dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia tiga bulan setelah dia
menikahi Aminah.
Ramalan
tentang kedatangan atau kelahiran Nabi Muhammad dapat ditemukan dalam
kitab-kitab suci terdahulu. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa kelahiran
Nabi Muhammad SAW telah diramalkan oleh setiap dan semua nabi terdahulu, yang
melalui mereka perjanjian telah dibuat dengan umat mereka masing-masing bahwa
mereka harus menerima atas kerasulan Muhammad SAW nanti. Seperti dalam Qs. Ali
‘Imran ayat 81:
“Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan
kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang
membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman
kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui”.
Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi
saksi (pula) bersama kamu”.
Sejumlah
penulis besar tentang Sirah dan para pakar hadits telah banyak
meriwayatkan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan, yang muncul pada saat
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa-peristiwa diluar daya nalar manusia,
yang mengarah kepada dimulainya era baru bagi alam dan kehidupan manusia, dalam
hal agama dan moral. Diantara peristiwa-peristiwa tersebut adalah singgasana
Kisra yang bergoyang-goyang hingga menimbulkan bunyi serta menyebabkan jatuh 14
balkonnya, surutnya danau Sawa, padamnya api sembahan orang-orang Persia yang
belum pernah padam sejak seribu tahun lalu.
2. Masa Kanak-kanak
Tidak
lama setelah kelahirannya, bayi Muhammad SAW diserahkan kepada Tsuwaibah, budak
perempuan pamannya, Abu Lahab, yang pernah menyusui Hamzah. Meskipun diasuh
olehnya hanya beberapa hari, nabi tetep menyimpan rasa kekeluargaan yang
mendalam dan selalu menghormatinya. Nabi SAW selanjutnya dipercayakan kepada
Halimah, seorang wanita badui dari Suku Bani Sa’ad. Bayi tersebut diasuhnya
dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan
kekar. Pada usia lima tahun, nabi dikembalikan Halimah kepada tanggungjawab
ibunya. Sejumlah hadis menceritakan bahwa kehidupan Halimah dan keluarganya
banyak dianugrahi nasib baik terus-menerus ketika Muhammad SAW kecil hidup di
bawah asuhannya.
Muhammad
SAW kira-kira berusia enam tahun, ibunya meninggal, maka beliau diasuh oleh
kakeknya, Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian, kakeknya yang berumur 82 tahun,
juga meninggal dunia. Maka pada usia delapan tahun itu, nabi ada di bawah
tanggung jawab pamannya Abi Thalib.
Pada
usia delapan tahun, seperti kebanyakan anak muda seumurnya, nabi memelihara
kambing di Mekkah dan menggembalakan di bukit dan lembah sekitarnya. Pekerjaan
menggembala sekawanan domba ini cocok bagi perangai orang yang bijaksana dan
perenung seperti Muhammad SAW muda, ketika beliau memperhatikan segerombolan domba,
perhatiannya akan tergerak oleh tanda-tanda kekuatan gaib yang tersebar di
sekelilingnya.
3. Masa Remaja
Diriwayatkan
bahwa ketika berusia dua belas tahun, Muhammad SAW menyertai pamannya, Abu
Thalib, dalam berdagang menuju Suriah, tempat kemudian beliau berjumpa dengan
seorang pendeta, yang dalam berbagai riwayat disebutkan bernama Bahira.
Meskipun beliau merupakan satu-satunya nabi dalam sejarah yang kisah hidupnya
dikenal luas, masa-masa awal kehidupan Muhammad SAW tidak banyak diketahui.
Muhammad
SAW, besar bersama kehidupan suku Quraisy Mekah, dan hari-hari yang dilaluinya
penuh dengan pengalaman yang sangat berharga. Pada masa mudanya, beliau telah
menjadi pengusaha sukses dan hidup berkecukupan dari hasil usahanya. Kemudian
pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan pemodal besar Arab dan janda kaya
Mekah, Khadijah binti Khuwailid yang telah berusia 40 tahun. Pada usia 30
tahunan, Muhammad SAW bisa mendamaikan perselisihan kecil yang muncul di
tengah-tengah suku Quraisy yang sedang melakukan renovasi Ka’bah. Mereka
mempersoalkan siapa yang paling berhak menempatkan posisi Hajar Aswad di
Ka’bah. Beliau membagi tugas kepada mereka dengan teknik dan strategi yang
sangat adil dan melegakan hati mereka.
B. Kerasulan Muhammad SAW
1. Awal Kerasulan
Menjelang
usianya yang keempat puluh, Muhammad SAW terbiasa memisahkan diri dari
pergaulan masyarakat umum, untuk berkontemplasi di Gua Hira, beberapa kilometer
di Utara Mekah. Di gua tersebut, nabi mula-mula hanya berjam-jam saja,
kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M,
Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama dari Allah melalui Malaikat Jibril,
yaitu ayat 1 sampai 5 dalam surat Al-‘Alaq. Dia merasa ketakutan karena belum
pernah mendengar dan mengalaminya. Dengan turunnya wahyu yang pertama itu,
berarti Muhammad SAW telah dipilih Allah sebagai nabi. Dalam wahyu pertama ini,
dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.
Peristiwa
turunnya wahyu itu menandakan telah diangkatnya Muhammad SAW sebagai seorang
nabi penerima wahyu di tanah Arab. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian
dikenal sebagai “Malam Penuh Keagungan” (Laylah al-qadar), dan menurut
sebagian riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan. Setelah wahyu pertama
turun, yang menandai masa awal kenabian, berlangsung masa kekosongan, atau masa
jeda (fatrah). Ketika hati Muhammad SAW diliputi kegelisahan yang sangat
dan merasakan beban emosi yang menghimpit, dia pulang ke rumah dengan perasaan
waswas, dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Saat itulah turun wahyu yang
kedua yang berbunyi: “Wahai kau yang berselimut! Bangkit dan berilah
peringatan!.” Dan seterusnya, yaitu surat al-Muddatstsir: 1-7. Wahyu yang
telah, dan kemudian turun sepanjang hidup Muhammad SAW, muncul dalam bentuk
suara-suara yang berbeda-beda. Tapi pada periode akhir kenabiannya, wahyu surah-surah Madaniyah turun dalam satu suara.
Dengan
turunnya awal surat al-Muddatstsir itu, mulailah Nabi Muhammad SAW berdakwah,
pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di
kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima
dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri,
Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yang baru berumur 10
tahun. Kemudian, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Lalu Zaid bin
‘Amr, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh nabi
sejak Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam.
2. Pertengahan Kerasulan
Setelah
beberapa lama dakwah Nabi Muhammad SAW tersebut dilaksanakan secara individual,
turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula beliau
mengundang dan menyeru kerabat karibnya dan Bani Abdul Muthalib. Beliau
mengatakan di tengah-tengah mereka, “Saya tidak melihat seorang pun di kalangan
Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa
yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepada kalian dunia dan akhirat yang
terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara
kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”. Mereka semua menolak kecuali
Ali bin Abi Thalib.
Karena
mendapat perintah dan dipicu oleh tugas baru yang harus beliau laksanakan
sebagai seorang utusan Allah, Muhammad SAW menemui dan berbaur di tengah
masyarakatnya untuk mengajar, berdakwah, dan menyampaikan risalah barunya.
Kebanyakan mereka menertawakan dan memakinya. Pada tahap itulah beliau berperan
sebagai nadzir, pemberi peringatan, dan sekaligus nabiy, yang
berusaha melaksanakan misinya dengan memberikan gambaran yang jelas tentang
nikmat surga dan siksa neraka. Beliau juga memperingatkan kaumnya tentang
kedatangan hari kiamat yang tidak akan lama lagi. Singkat, tegas, ekspresif,
dan mengesankan merupakan karakteristik wahyunya yang paling awal, yaitu
surah-surah Makiyah.
Langkah
dakwah seterusnya yang diambil nabi adalah menyeru masyarakat umum. nabi mulai
menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan, baik
golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula beliau menyeru penduduk
Mekah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Di samping itu, beliau menyeru
orang-orang yang datang ke Mekah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji.
Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih,
hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut Nabi yang tadinya hanya
belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum
wanita, budak, pekerja dan orang-orang yang tidak punya. Meskipun kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat mereka sungguh membaja.
Banyak
cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muahammad
SAW. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan nabi terletak dari perlindungan
dan pembelaan Abu Thalib yang sangat disegani itu. Karena itu mereka menyusun
siasat bagaimana melepaskan hubungan nabi dengan pamannya itu. Mereka pun
mengancam Abu Thalib. Nampaknya Abu Thalib cukup terpengaruh oleh ancaman
mereka, sehingga ia mengharapkan Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Namun,
Nabi Muhammad SAW menolak untuk menghentikan dakwahnya, meskipun diancam akan
dikucilkan oleh seluruh anggota keluarga dan sanak saudara.
Setelah
cara-cara diplomatik dan bujuk rayu yang dilakukan kaum Quraisy gagal,
tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan
semakin ditingkatkan. Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap
kaum muslimin itu, mendorong Nabi Muhammad SAW untuk mengungsikan
sahabat-sahabatnya ke luar Mekah. Pada tahun kelima kerasulannya, nabi
menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagi negeri tempat pengungsian.
Usaha
orang-orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk
membujuk Negus (Raja) agar menolak kehadiran umat Islam di sana,
gagal. Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang Quraisy masuk
Islam, Hamzah dan Umar ibn Khathab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini
posisi Islam semakin kuat.
Kemudian
kaum Quraisy menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muahmmad SAW yang
bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan.
Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang
penduduk Mekah pun diperkenankan melakukan hubungan jaul beli dengan Bani
Hasyim. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ketujuh kenabian ini
berlangsung selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan
melemahkan umat Islam.
Sekitar
tiga tahun sebelum Hijrah, Khadijah meninggal dunia, dan tidak berapa lama
kemudian disusul oleh pamannya, Abu Thalib yang meskipun tidak sempat memeluk agama Islam –
tetap setia membela anak saudaranya itu hingga akhir hayatnya. Namun, menurut
Badri Yatim, bahwa Khadijah meninggal dunia tiga hari setelah pamannya, Abu
Thalib, meninggal dunia pada usia 87 tahun. Peristiwa ini terjadi pada
tahun kesepuluh kenabian. Tahun itu merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad
SAW. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi
melampiaskan nafsu amarahnya terhadap nabi. Melihat reaksi penduduk Mekah
demikian, nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun, di
Thaif beliau diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka di
bagian kepala dan badannya.
Dalam
masa prahijrah ini, juga terjadi sebuah peristiwa dramatis, yaitu Isra’, perjalanan
di malam hari, ketika nabi diperjalankan secepat kilat dari Ka’bah ke
Yarusalem, lalu naik ke langit ketujuh (mi’raj). Karena menjadi transit
dalam perjalanan menuju langit, Yarusalem, yang saat itu telah menjadi tempat
suci umat Yahudi dan Kristen, kemudian menjadi kota suci ketiga umat Islam
setelah Mekah dan Madinah. Berita tentang Isra dan Mi’raj ini
menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, ini dijadikan bahan
propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ini
merupakan ujian keimanan.
Setelah
peristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam
muncul. Perkembangan itu diantaranya datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang
berhaji ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam
dalam tiga gelombang. Pertama, pada tahun kesepuluh kenabian, beberapa orang
Khazraj menemui Muhammad SAW untuk masuk Islam, dan mengharapkan agar ajaran
Islam dapat mendamaikan permusauhan suku ‘Aus dan Khazraj. Kedua, pada tahun
keduabelas kenabian, delegasi Yatsrib terdiri dari sepuluh orang Khazraj dan
dua orang ‘Aus serta seorang wanita menemui Muhammad SAW di tempat
bernama Aqabah. Mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Ikrar ini dinamakan dengan
perjanjian “Aqabah Pertama”. Ketiga, pada musim haji berikutnya, jama’ah haji
yang datang dari Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka
meminta Muhammad SAW dan Muslimin Makkah agar berkenan pindah ke Yatsrib.
Mereka berjanji akan membelanya dari segala ancaman. Perjanjian ini dinamakan
dengan perjanjian “Aqabah Kedua”.
Setelah
kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Muhammad SAW dan
orang-orang Yatsrib itu, mereka kian giat melancarkan intimidasi terhadap kaum
muslimin. Hal ini membuat nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk
berhijrah ke Yatsrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin kurang
lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekah. Hanya Ali bin Abi Thalib dan
Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tetap tinggal di Mekah bersama Muhammad SAW.
Keduanya membela dan menemani nabi sampai ia pun berhijrah ke Yatsrib karena
Quraisy sudah merencanakan untuk membunuhnya.
Dalam
perjalanan ke Yatsrib nabi ditemani oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika di Quba,
sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yatsrib, nabi istirahat
beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman
rumah ini nabi membangun sebuah mesjid. Inilah mesjid pertama yang dibangun
nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali bin Abi Thalib menyusul
nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekah.
Sementara
itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatanganya. Waktu yang mereka
tunggu-tunggu itu tiba, mereka menyambut nabi dan kedua sahabatnya dengan penuh
kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi, nama kota Yatsrib
diubah menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi) atau sering disebut Madinatul
Munawwarah (Kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar
keseluruh dunia.
Kejadian
itu disebut dengan “hijrah” bukan sepenuhnya sebuah “pelarian”, tetapi
merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara seksama selama
sekitar dua tahun sebelumnya. Tujuh belas tahun kemudian, Khalifah Umar bin
Khattab menetapkan saat terjadinya peristiwa hijrah sebagai awal tahun Islam,
atau tahun qamariyah.
3. Akhir Masa Kerasulan
1.Pembentukan Negara Madinah
Setelah
tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad SAW resmi sebagai
pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda
dengan periode Mekah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik.
Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di
Madinah. Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala
agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi
terkumpul dua kekuasaan, kekuasaam spiritual dan kekuasaan duniawi.
Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
Dalam
rangka memperkokoh masyarakat dengan negara baru ini, nabi segera meletakan
dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan masjid, selain
untuk tempat shalat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum
muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, disamping sebagai tempat bermusyawarah
merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Mesjid pada masa nabi bahkan juga
berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dasar
kedua, adalah ukhuwwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim. nabi
mempersaudarakan antara golongan muhajirin, orang-orang yang hijrah dari
Mekah ke Madinah, dan anshar, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam
dan ikut membentu kaum muhajirin tersebut.. Dengan demikian, diharapkan setiap
muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang
dilakukan Rasulullah ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang
baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan
berdasarkan darah.
Dasar
ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama
Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat masyarakat
Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar
stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan
perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama
orang-orang Yahudi sebagai sebuah komunitas dikeluarkan. Setiap golongan
masyarakat memiliki hat tertentu dalam bidang politik dan keagamaan.
Kemerdekaan agama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban
mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. Dalam perjanjian itu
jelas disebutkan bahwa Muhammad SAW menjadi kepala pemerintahan karena sejauh
menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada
beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakan dasar persamaan antar sesama
manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering
disebut dengan Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah. Secara garis besarnya,
isi Piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal ini, untuk menyatukan berbagai
komunitas di Madinah atas dasar kepentingan kemanusiaan secara universal,
bahkan untuk melindungi dan member jaminan kebebasan bagi pemeluk agama lain
untuk melaksanakan agamanya dengan baik.
Dengan
terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam
yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi
risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, nabi, sebagi kepala
pemerintahan, mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam
diijinkan berperang dangan dua alasan: (1) untuk mempertahankan diri dan
melindungi hak miliknya, dan (2) menjaga keselamatan dalam penyebaran
kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang-halanginya.
Dalam
sejarah Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum
muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Nabi sendiri, di awal
pemerintahannya, mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga
melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi
dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai
kabilah di sekitar Madinah juga diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan
Madinah.
Perang
pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam ini adalah Perang Badar,
perang antara kaum Muslimin dangan Musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan
tahun 2 Hijriah, nabi bersama 305 orang muslim bergerak ke luar kota membawa
perlengkapan yang sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari
Madinah, pasukan nabi bertemu dengan pasukan Quraisy yang berjumlah 900 sampai
1000 orang. nabi sendiri yang memegang komando. Dalam perang ini kaum Muslimin
keluar sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang. Mereka
memang tidak sepenuh hati menerima perjanjian yang telah dibuat antara mereka
dengan Muhammad SAW.Menurut An-Nadwi, dalam perang Badar ini Rasulullah pergi
bersama 313 orang laki-laki, dengan hanya 2 ekor kuda dan 70 unta. Dua atau
tiga orang menunggang seekor unta. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara
perajurit dan komandan, antara pengikut dan yang diikuti.
Bagi
kaum Quraisy Mekah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan
berat. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun 3 Hijriyah, mereka
berangkat menuju Madinah membawa tidak kurang dari 3000 pasukan berkendaraan
unta, 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid, 700 orang
diantara mereka memakai baju besi. Nabi Muhammad SAW menyongsong kedatangan
mereka dengan pasukan sekitar seribu orang. Namun, baru saja melewati batas
kota, Abdullah bin Ubay, seorang munafik dengan 300 orang Yahudi membelot dan
kembali ke Madinah. Mereka melanggar perjanjian dan disiplin perang. Meskipun
demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal nabi melanjutkan perjalanan.
Beberapa kilometer dari Madinah, tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukan bertemu.
Perang dahsyat pun berkobar, pertama-tama, prajuri-prajurit Islam dapat memukul
mundur tentara musuh yang lebih besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh
Khalid bin Walid gagal menembus benteng pasukan pemanah Islam. Dengan disiplin
yang tinggi dan strategi perang yang jitu, pasukan yang lebih kecil itu
ternyata mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar. Kemenangan yang sudah
diambang pintu itu tiba-tiba gagal karena godaan harta peninggalan musuh.
Prajurit Islam mulai memungut harta rampasan perang tanpa menghiraukan gerakan
musuh, termasuk didalamnya anggota pasukan pemanah yang telah diperingatkan
nabi agar tidak meninggalkan posnya.
Kelengahan
kaum Muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Khalid bin Walid
berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan Quraisy yang tadinya
sudah kabur berbalik menyerang. Pasukan Islam menjadi porak-poranda dan tidak
mampu menangkis serangan balik tersebut. Satu persatu pahlawan Islam gugur,
bahkan nabi sendiri terkena serangan musuh. Perang ini berakhir dengan 70 orang
pejuang Islam syahid di medan laga.
Penghianatan
Abdullah bin Ubay dan pasukan Yahudi diganjar dengan tindakan tegas. Bani
Nadir, satu dari dua suku di Madinah yang berkomplot dengan Abdullah bin Ubay,
diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar. Sedangkan
suku Yahudi lainnya, yaitu Bani Quraizah, masih tetap di Madinah. Masyarakat
Yahudi yang mengungsi ke Khaibar itu kemudian mengadakan kontak dengan
masyarakat Mekah untuk menyusun kekuatan bersama guna menyerang Madinah. Mereka
membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang tentara. Di dalamnya
juga bergabung beberapa suku Arab lain. Mereka bergerak menuju Madinah pada
tahun 5 Hijriah. Atas usul Salman Al-Farisi, nabi memerintahkan umat Islam
menggali parit untuk pertahanan.
Setelah
tentara sekutu tiba, mereka tertahan oleh parit itu, namun, mereka mengepung Madinah
dengan mendirikan kemah-kemah di luar parit hampir sebulan lamanya. Perang ini
disebut dengan perang ahzab (sekutu beberapa suku) atau perang khandaq
(parit). Dalam suasana kritis itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizah di bawah
pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Hal ini membuat umat Islam semakin
terjepit. Setelah sebulan pengepungan, angin dan badai turun amat kencang,
menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara
sekutu. Mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri
masing-masing tanpa hasil apa pun.
Pada
tahun 6 Hijriyah, ketika Ibadah Haji sudah disyariatkan, nabi memimpin sekitar
seribu kaum muslimin berangkat ke Mekah, bukan untuk berperang, melainkan untuk
melakukan Ibadah Umrah. Karena itu, mereka mengenakan pakaian ihram tanpa
membawa senjata. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah, beberapa
kilometer dari Mekah. Penduduk Mekah tidak mengijinkan kaum muslimin masuk
kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah
yang isinya antara lain: (1) kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun
ini, tetapi ditangguhkan sampai tahun depan, (2) lama kunjungan dibatasi sampai
tiga hari saja, (3) kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang
melarikan diri ke Madinah, sedang sebaliknya pihak Quraisy tidak harus menolak
orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah, (4) selama sepuluh tahun
diberlakukan genjatan senjata antara masyarakat Madinah dan Mekah, dan (5) tiap
kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin,
bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Genjatan
senjata telah memberi kesempatan kepada nabi untuk menoleh berbagai negeri lain
sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang
ditempuh nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan
pemerintahan. Diantara raja-raja yang dikirimi surat ialah raja Ghassan, Mesir,
Abesinia, Persia, dan Romawi. Namun, tidak seorang pun masuk Islam. Ada yang
menolak dengan baik dan simpati, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar,
seperti yang diperlihatkan oleh raja Ghassan. Utusan yang dikirim oleh nabi
dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan.
Untuk
membelas perlakuan itu, Nabi mengirim pasukan perang sebanyak 3000 orang.
Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara Jazirah Arab. Pasukan Islam
mendapat kesulitan menghadapi tentera Ghassan yang mendapat bantuan dari
Romawi. Beberapa pahlawan gugur menghadapi pasukan berkekuatan ratusan ribu
itu. Melihat kenyataan yang tidak berimbang ini, Khalid bin Walid, yang sudah
masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan untuk menarik
diri dan kembali ke Madinah.
Selama
dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau
seluruh Jazirah Arab dan tanggapan yang positif. Hampir seluruh Jazirah Arab,
termasuk suku-suku yang paling selatan, menggabungkan diri dalam Islam. Hal ini
membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata
sebagai senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu,
secara sepihak orang-orang kafi quraisy membatalkan perjanjian tersebut.
Melihat kenyataan ini, Rasulullah segera bertolak ke Mekah dengan 10.000 orang
tentara untuk melawan mereka. Nabi tidak mengalami kesukaran apa-apa dan
memasuki kota Mekah tanpa perlawanan. Beliau tampil sebagai pemenang.
Patung-patung berhala di seluruh negeri dihancurkan. Selain itu, nabi
berkhotbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Sesudah khutbah
disampaikan, mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sejak itu, Mekah
berada di bawah kekuasaan nabi.
Sekalipun
Mekah dapat dikalahkan, masih ada dua suku Arab yang masih menentang, yaitu
Bani Tsaqif di Thaif dan Bani Hawazin di antara Thaif dan Mekah. Kedua suku ini
berkomplot membentuk pasukan untuk memerangi Islam. Mereka ingin menuntut bela
atas berhala-berhala mereka yang diruntuhkan nabi dan umat Islam di Ka’bah.
nabi mengerahkan kira-kira 12.000 tentara menuju Hunain untuk menghadapi
mereka. Pasukan ini dipimpin langsung oleh beliau sehingga umat Islam
memenagkan pertempuran dalam waktu yang tidak begitu lama.
Dengan
ditaklukannya Bani Tsaqif dan Bani Hawazin, seluruh Jazirah Arab berada di
bawah kepemimpinan Nabi. Melihat kenyataan ini, Heraklius menyusun pasukan
besar di utara Jazirah Arab, Syiria, yang merupakan daerah penduduk Romawi.
Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Ghassan dan Bani Lachmides. Untuk
menghadapi pasukan Heraklius ini banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri
siap berperang bersama Nabi sehingga terhimpun pasukan Islam yang besar pula.
Melihat besarnya pasukan Islam yang dipimpim nabi, tentara Romawi itu menjadi
kecut. Akhirnya mereka menarik diri, kembali ke daerahnya. Nabi sendiri tidak
melakukan pengejaran, tetapi berkemah di Tabuk. Di sini beliau membuat beberapa
perjanjian dengan penduduk stempat. Dengan demikian, daerah perbatasan itu
dapat dirangkul ke dalam barisan Islam. Perang Tabuk merupakan perang terakhir
yang diikuti Rasulullah SAW.
Pada
tahun 9 dan 10 Hijriyah (630-632 M) banyak suku dari pelosok Arab mengutus
delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW menyatakan ketundukan mereka. Masuknya
orang Mekah ke dalam agama Islam rupanya mempunyai pengaruh yang amat besar
pada penduduk padang pasir yang liar itu. Tahun itu disebut dengan tahun
perutusan. Persatuan bangsa Arab telah terwujud; peperangan antara suku yang
berlangsung sebelumnya telah berubah menjadi persaudaraan seagama.
Dalam
kesempatan menunaikan ibadah haji yang terakhir, haji wada’ tahun 10
Hijriyah (631 M), Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbahnya yang sangat
bersejarah. Isi khutbah itu antara lain: larangan menumpahkan darah kecuali
dengan haq dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, karena
nyawa dan harta benda adalah suci; larangan riba dan larangan menganiaya;
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik dan lemah lembut dan
perintah menjauhi dosa; semua pertengkaran antara mereka di zaman jahiliyah
harus saling dimaafkan; balas dendam dengan tebusan darah sebagaimana berlaku
di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan; persaudaraan dan persamaan di antara
manusia harus ditegakan; hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, mereka
harus makan seperti apa yang dimakan tuannya dan memakai seperti apa yang
dipakai tuannya; dan yang terpenting adalah bahwa umat Islam harus selalu
berpegang pada dua sumber yang tidak pernah usang, Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Isi khutbah ini merupakan prinsip-prinsip yang mendasari gerakan Islam.
Selanjutnya, prinsip-prinsip itu bila disimpulkan adalah kemanusiaan,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebijakan dan solidaritas.
Setelah
itu, Nabi Muhammad SAW segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi
masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam. Petugas keagamaan dan para
dai’ dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan ajaran-ajaran
Islam, mengatur peradilan, dan memungut zakat. Dua bulan setelah itu, Nabi
menderita sakit demam. Tenaganya dengan cepat berkurang. Pada hari senin
tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H/ 8 Juni 632 M., Nabi Muhammad SAW wafat di rumah
istrinya Aisyah.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
perjalanan sejarah nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di
samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan
administrasi yang cakap. Hanya dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin
politik, beliau berhasil menundukan seluruh Jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.
Kita
dapat membagi masa dakwah Muhammad SAW menjadi dua periode, yang satu berbeda
secara total dengan yang lainnya, yaitu:
- Periode Mekah, berjalan kira-kira tiga belas tahun.
- Periode Madinah, berjalan selama sepuluh tahun penuh.
Setiap
periode memiliki tahapan-tahapan tersendiri, dengan kekhususannya
masing-masing. Periode mekah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
- Tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang berjalan selama tiga tahun.
- Tahapan dakwah secara terang-terangan di tengah penduduk Mekah, yang dimulai sejak tahun keempat dari kenabian hingga akhir tahun kesepuluh.
- Tahapan dakwah di luar Mekah, yang dimulai dari tahun kesepuluh dari kenabian hingga hijrah ke Madinah.
Sedangkan periode Madinah dapat
dibagi menjadi tiga tahapan fase:
- Fase perdamaian dengan para pemimpin paganisme, yang berakhir dengan Futuh Makah pada bulan Ramadhan tahun kedelapan dari Hijriyah. Ini juga merupakan fase berdakwah kepada para raja agar masuk Islam.
- Fase masuknya manusia ke dalam Islam secara berbondong-bondong, yaitu masa kedatangan para utusan dari berbagai kabilah dan kaum ke Madinah. Masa ini membentang hingga wafatnya Rasulullah SAW.
0 komentar:
Posting Komentar